Otonomi Bukan Liberalisasi Perguruan Tinggi!
Oleh: Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
Liberalisasi memang konsep yang memancing emosi bagi sebagian cendekia republik ini. Apalagi ketika konsep tersebut disematkan pada pendidikan yang diklaim sebagai barang publik. Apakah pendidikan harus patuh pada hukum pasar yang mensyaratkan kemampuan membeli? Apabila demikian, pendidikan pun menjadi barang privat yang diperjualbelikan layaknya barang loakan. Otonomi pun akhirnya dijadikan martir bagi keluh kesah terhadap liberalisasi pendidikan. Status perguruan tinggi yang otonom disinyalir sebagai gerbang emas bagi “kelontongisasi” pendidikan. Akibatnya jelas. Perguruan tinggi sibuk membuka restoran dan kafe sambil terus memproduksi berbagai kelas eksekutif.
Otonomi
Otonomi dipersoalkan secara diametral oleh dua orang pengamat sekaligus pelaku pendidikan tinggi. Pertama adalah Satryo Soemantri Brodjonegoro. Beliau menekankan bahwa absennya otonomi akan menyebabkan kemandulan kognitif di dalam lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menjadi sekadar satuan administratif yang tidak mungkin mampu menumbuhkan suasana akademik-ilmiah-inovatif yang kondusif (Kompas, 15/10/11). Gumilar Rusliwa Somantri, sebaliknya, lebih berhati-hati menyikapi otonomi. Gumilar membedakan antara otonomi rasional dengan liberal (Kompas, 15/10/11). Otonomi rasional dipahami Gumilar sebagai otonomi yang berpedoman pada regulasi dan perencanaan pemerintah. Otonomi liberal, sebaliknya, dipahami sebagai kebebasan perguruan tinggi melakukan apa saja sehingga mengurangi peran negara.
Saya memiliki catatan terhadap pembedaan Gumilar di atas. Gumilar menekankan betapa otonomi liberal akan mengabaikan peran negara yang memastikan manfaat publik pendidikan tinggi. Pertanyaannya, apakah negara selalu satu tarikan nafas dengan kepentingan publik. Bukankah korupsi selama ini justru banyak dilakukan lembaga negara. Kebijakan negara pun seringkali adalah kebijakan pesanan yang tidak mengabdi pada kepentingan publik. Kesebangunan antara negara dan publik adalah tanda tanya raksasa di republik ini.
Kedua, apakah otonomi niscaya melahirkan liberalisasi pendidikan? Kita memang bisa melihat kenyataan betapa beberapa perguruan tinggi otonom mencari uang secara kebablasan. Otonomi kemudian ditafsirkan sebagai kemudahan untuk membangun Mal dan Pompa Bensin. Namun, otonomi kebablasan tersebut juga tidak pernah ditegur oleh penyelenggara negara yang memiliki suara cukup besar di Majelis Wali Amanah selaku pengawas. Apakah ketika peran negara diperbesar dari sekadar wakil di Majelis Wali Amanah maka perguruan tinggi akan menghentikan liberalisasi? Peran negara satu hal sementara pengawasan adalah hal lain. Apalagi kenyataan menunjukan betapa seringkali penyelenggara negara bertindak atas nama kepentingan sektoral ketimbang publik.
Gumilar, bagi saya, menggagas semacam otonomi terpimpin. Otonomi yang dipimpin oleh negara sebagai penyelenggara kepentingan publik. Otonomi terpimpin, sayangnya, adalah kontradiksi logis yang cukup fatal. Di antara otonomi dan terpimpin tidak ada kemungkinan ketiga. Kita harus memilih satu di antara keduanya. Artikel seorang pengamat pendidikan , Doni Koesoema, menunjukan betapa fatalnya akibat yang ditimbulkan otonomi terpimpin. Ketika lembaga pendidikan menjadi satuan kerja pemerintah dan patuh pada perencanaan pemerintah maka yang muncul justru ketidakadilan. Doni menulis betapa perencanaan kementrian pendidikan nasional justru memperberat guru dengan menuntut tatap muka 27,5 jam per minggu (Kompas, 15/10/11). Kita bisa membayangkan betapa ruginya jika hal serupa terjadi di perguruan tinggi. Bagaimana dosen mampu melakukan riset inovatif jika seluruh hidup akademiknya diabdikan di dalam kelas dan bukan laboratorium.
Pabrik Pengetahuan
Perguruan tinggi tidak ayal lagi mencerminkan kondisi terakhir masyarakat milenia baru. Masyarakat di milenia baru ini menjejakan kaki sosialnya pada pengetahuan. Jika dulu nilai tambah diperoleh dari kerja otot maka sekarang itu digenjot melalui otak. Perguruan tinggi adalah organisasi yang mengelola otak-otak terpintar sebuah bangsa demi produksi pengetahuan yang bermanfaat. Dengan demikian, perguruan tinggi seharusnya lebih banyak menghasilkan laporan penelitian ketimbang surat keputusan rektor.
Pengelolaan otak tidak sama dengan pengelolaan otot. Yang pertama membutuhkan otonomi sementara yang kedua, disiplin dan ketaatan. Kerja akademik membutuhkan otonomi demi produktivitas dan inovasi. Disiplin, regulasi, aturan justru berbanding terbalik dengan produktivitas akademik. Semakin banyak aturan dikeluarkan justru semakin miskin kerja akademik.
Perguruan tinggi sejatinya memiliki dua fungsi yang saling melengkapi. Fungsi pertama adalah produsen pengetahuan. Perguruan tinggi adalah pabrik pengetahuan yang secara berkelanjutan memasok publik dengan berbagai pengetahuan yang berguna. Sayangnya, fungsi ini belum sepenuhnya dipahami oleh pengelola perguruan tinggi. Alhasil, perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan intrik ketimbang inovasi epistemik.
Fungsi kedua adalah penyalur pengetahuan. Pengetahuan yang disalurkan lewat pengajaran seharusnya merupakan produk perguruan tinggi itu sendiri. Jika tidak, perguruan tinggi sekadar menjadi institusi tempat dosen menjejali mahasiswa dengan teori-teori yang bukan bikinannya sendiri. Perguruan tinggi harus mampu menyalurkan pengetahuan yang kontekstual dengan persoalan bangsanya. Sehingga, pengajaran yang diselenggarakan harusnya berbasis riset dan bukan sekadar memutar-ulang buku teks.
Otonomi adalah syarat mutlak berlangsungnya dua fungsi perguruan tinggi di atas. Setiap perguruan tinggi berhak menentukan pengetahuan apa yang diproduksi dan disalurkannya. Perencanaan di tingkat penyelenggara negara tidak mampu memetakan kekhususan setiap perguruan tinggi dalam menjalankan dwi-fungsi tersebut. Perguruan tinggi, misalnya, berhak membuka program studi atau jurusan baru berdasarkan state of the art keilmuan tertentu. Perguruan tinggi juga berhak membongkar struktur unit kerja akademik menjadi produsen kognitif ketimbang penyelenggara administratif. Program studi bukan lagi tempat absen dihitung dan kuitansi pensil dikumpulkan. Nah, jika yang terjadi sebaliknya, saya lebih baik beralih profesi menjadi karyawan pabrik garmen. (Dimuat di harian Kompas tgl 18 Agustus 2011).-
-6.734423
122.343750