MWA UI 2024-2029

Anggota MWA Periode 2024 – 2029 Unsur Dosen Terpilih
No, Nama Fakultas
1 Prof. Dr. Ir. Praswasti Pembangun Dyah Kencana Wulan, M. T. FT
2 Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M. H. FH
3 Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M. Si. FIA
4 Dr. Enie Novieastari, S.Kp., M.S.N FIK
5 Prof. Drs. Heru Suhartanto, M. Sc., Ph. D. FASILKOM
6 Prof. Dr. Budi Frensidy, S.E., Ak., M.Com., CPA FEB
7 Prof. Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. FIB

Anggota MWA Periode 2024 – 2029 Unsur Masyarakat Terpilih
No, Nama Jabatan Keterangan
1 Dr. Muh. Yusuf Ateh, Ak., MBA, CSFA, CGCAE Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Komite Audit
2 Dr. Ir. Setia N Milatia Moemin, MBA Direktur Utama Perum Damri Komite Risiko
3 Dr. (HC) Noni Sri Ayati Purnomo, B. Eng., M.B.A. Chairman Blue Bird Group Holding
4 Dr. (HC) K.H. Yahya Cholil Staquf Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama
5 Ir. Irfan Setiaputra Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
6 Dr. Dany Amrul Ichdan, S. E., M. Sc. Wakil Direktur utama PT Mineral Industri Indonesia (Persero)

Anggota MWA Periode 2024 – 2029 Unsur Tenaga Kependidikan Terpilih
No, Nama Unit Kerja
1 Tikka Anggraeni S.Sos, M.Si. Fakultas Teknik

Anggota MWA Periode 2024 – 2029 Unsur Mahasiswa Terpilih
No, Nama Fakultas
1 Muhammad Zahid Abdullah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Kisruh UI

 

Dear All,

Sejarah panjang PT BHMN yang dimulai dari gagasan dosen2 UI,
dibahas oleh Satryo Soemantri, dalam tulisannya di harian KOMPAS
hari ini 03 Jan 2012.

Yang menarik disoroti adalah awal tulisan:

Kisruh yg terjadi di UI sebenarnya dpt diselesaikan dengan sangat elegan.
Seandainya saya dalam posisi rektor UI, saya akan segera mengundurkan diri
dengan menyerahkan kembali mandat yg pernah diamanatkan oleh MWA UI.

Dan diakhiri dengan:

Ironisnya UI sebagai penggagas BHMN  terpaksa harus menggagalkan sendiri
gagasannya.Mudah2an hal ini tidak terjadi.Dan sekali lagi seandainya saya dalam posisi
rektor UI, saya akan mengembalikan mandat saya demi keselamatan sivias akademika  UI
dan mengukuhkan keberadaan BHMN.

Sudahilah pertengkaran yg tidak berguna ini demi kepentingan sivitas akademika UI
khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya.

Salam Damai.-

Otonomi Bukan Liberalisasi Perti

Otonomi Bukan Liberalisasi Perguruan Tinggi!

Oleh: Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia

Liberalisasi memang konsep yang memancing emosi bagi sebagian cendekia republik ini. Apalagi ketika konsep tersebut disematkan pada pendidikan yang diklaim sebagai barang publik. Apakah pendidikan harus patuh pada hukum pasar yang mensyaratkan kemampuan membeli? Apabila demikian, pendidikan pun menjadi barang privat yang diperjualbelikan layaknya barang loakan. Otonomi pun akhirnya dijadikan martir bagi keluh kesah terhadap liberalisasi pendidikan. Status perguruan tinggi yang otonom disinyalir sebagai gerbang emas bagi “kelontongisasi” pendidikan. Akibatnya jelas. Perguruan tinggi sibuk membuka restoran dan kafe sambil terus memproduksi berbagai kelas eksekutif.

Otonomi

Otonomi dipersoalkan secara diametral oleh dua orang pengamat sekaligus pelaku pendidikan tinggi. Pertama adalah Satryo Soemantri Brodjonegoro. Beliau menekankan bahwa absennya otonomi akan menyebabkan kemandulan kognitif di dalam lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menjadi sekadar satuan administratif yang tidak mungkin mampu menumbuhkan suasana akademik-ilmiah-inovatif yang kondusif (Kompas, 15/10/11). Gumilar Rusliwa Somantri, sebaliknya, lebih berhati-hati menyikapi otonomi. Gumilar membedakan antara otonomi rasional dengan liberal (Kompas, 15/10/11). Otonomi rasional dipahami Gumilar sebagai otonomi yang berpedoman pada regulasi dan perencanaan pemerintah. Otonomi liberal, sebaliknya, dipahami sebagai kebebasan perguruan tinggi melakukan apa saja sehingga mengurangi peran negara.

Saya memiliki catatan terhadap pembedaan Gumilar di atas. Gumilar menekankan betapa otonomi liberal akan mengabaikan peran negara yang memastikan manfaat publik pendidikan tinggi. Pertanyaannya, apakah negara selalu satu tarikan nafas dengan kepentingan publik. Bukankah korupsi selama ini justru banyak dilakukan lembaga negara. Kebijakan negara pun seringkali adalah kebijakan pesanan yang tidak mengabdi pada kepentingan publik. Kesebangunan antara negara dan publik adalah tanda tanya raksasa di republik ini.

Kedua, apakah otonomi niscaya melahirkan liberalisasi pendidikan? Kita memang bisa melihat kenyataan betapa beberapa perguruan tinggi otonom mencari uang secara kebablasan. Otonomi kemudian ditafsirkan sebagai kemudahan untuk membangun Mal dan Pompa Bensin. Namun, otonomi kebablasan tersebut juga tidak pernah ditegur oleh penyelenggara negara yang memiliki suara cukup besar di Majelis Wali Amanah selaku pengawas. Apakah ketika peran negara diperbesar dari sekadar wakil di Majelis Wali Amanah maka perguruan tinggi akan menghentikan liberalisasi? Peran negara satu hal sementara pengawasan adalah hal lain. Apalagi kenyataan menunjukan betapa seringkali penyelenggara negara bertindak atas nama kepentingan sektoral ketimbang publik.

Gumilar, bagi saya, menggagas semacam otonomi terpimpin. Otonomi yang dipimpin oleh negara sebagai penyelenggara kepentingan publik. Otonomi terpimpin, sayangnya, adalah kontradiksi logis yang cukup fatal. Di antara otonomi dan terpimpin tidak ada kemungkinan ketiga. Kita harus memilih satu di antara keduanya. Artikel seorang pengamat pendidikan , Doni Koesoema, menunjukan betapa fatalnya akibat yang ditimbulkan otonomi terpimpin. Ketika lembaga pendidikan menjadi satuan kerja pemerintah dan patuh pada perencanaan pemerintah maka yang muncul justru ketidakadilan. Doni menulis betapa perencanaan kementrian pendidikan nasional justru memperberat guru dengan menuntut tatap muka 27,5 jam per minggu (Kompas, 15/10/11). Kita bisa membayangkan betapa ruginya jika hal serupa terjadi di perguruan tinggi. Bagaimana dosen mampu melakukan riset inovatif jika seluruh hidup akademiknya diabdikan di dalam kelas dan bukan laboratorium.

Pabrik Pengetahuan

Perguruan tinggi tidak ayal lagi mencerminkan kondisi terakhir masyarakat milenia baru. Masyarakat di milenia baru ini menjejakan kaki sosialnya pada pengetahuan. Jika dulu nilai tambah diperoleh dari kerja otot maka sekarang itu digenjot melalui otak. Perguruan tinggi adalah organisasi yang mengelola otak-otak terpintar sebuah bangsa demi produksi pengetahuan yang bermanfaat. Dengan demikian, perguruan tinggi seharusnya lebih banyak menghasilkan laporan penelitian ketimbang surat keputusan rektor.

Pengelolaan otak tidak sama dengan pengelolaan otot. Yang pertama membutuhkan otonomi sementara yang kedua, disiplin dan ketaatan. Kerja akademik membutuhkan otonomi demi produktivitas dan inovasi. Disiplin, regulasi, aturan justru berbanding terbalik dengan produktivitas akademik. Semakin banyak aturan dikeluarkan justru semakin miskin kerja akademik.

Perguruan tinggi sejatinya memiliki dua fungsi yang saling melengkapi. Fungsi pertama adalah produsen pengetahuan. Perguruan tinggi adalah pabrik pengetahuan yang secara berkelanjutan memasok publik dengan berbagai pengetahuan yang berguna. Sayangnya, fungsi ini belum sepenuhnya dipahami oleh pengelola perguruan tinggi. Alhasil, perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan intrik ketimbang inovasi epistemik.

Fungsi kedua adalah penyalur pengetahuan. Pengetahuan yang disalurkan lewat pengajaran seharusnya merupakan produk perguruan tinggi itu sendiri. Jika tidak, perguruan tinggi sekadar menjadi institusi tempat dosen menjejali mahasiswa dengan teori-teori yang bukan bikinannya sendiri. Perguruan tinggi harus mampu menyalurkan pengetahuan yang kontekstual dengan persoalan bangsanya. Sehingga, pengajaran yang diselenggarakan harusnya berbasis riset dan bukan sekadar memutar-ulang buku teks.

Otonomi adalah syarat mutlak berlangsungnya dua fungsi perguruan tinggi di atas. Setiap perguruan tinggi berhak menentukan pengetahuan apa yang diproduksi dan disalurkannya. Perencanaan di tingkat penyelenggara negara tidak mampu memetakan kekhususan setiap perguruan tinggi dalam menjalankan dwi-fungsi tersebut. Perguruan tinggi, misalnya, berhak membuka program studi atau jurusan baru berdasarkan state of the art keilmuan tertentu. Perguruan tinggi juga berhak membongkar struktur unit kerja akademik menjadi produsen kognitif ketimbang penyelenggara administratif. Program studi bukan lagi tempat absen dihitung dan kuitansi pensil dikumpulkan. Nah, jika yang terjadi sebaliknya, saya lebih baik beralih profesi menjadi karyawan pabrik garmen. (Dimuat di harian Kompas tgl 18 Agustus 2011).-

 

 

Rektor UI dan Presiden RI

Oleh EFFENDI GAZALI

Isinya menyebut tidak kurang 33 nama dari tujuh fakultas sebagai produser, sutradara, aktor utama, dan aktor tambahan skenario penggulingan.Hampir semua elemen sivitas akademika ada di situ: anggota Majelis Wali Amanah(MWA), gurubesar,dekan, senat akademik,dan ikatan alumni (iluni).

Jika dokumen itu benar, mengapa ada begitu banyak orang mau berbuat seperti itu? Apakah nama-nama sekaliber Emil Salim, Martani Huseini, Pratiwi Sudarmono, Harkristuti Harkrisnowo, Rhenald Kasali, Hikmahanto Juwana, Firmanzah, T Basarudin, Ratna Sitompul, Donny Gahral Adian, dan Ade Armando ”mempersoalkan” rektor tanpa alasan logis? Hanya semata iri, iseng, atau bahkan semua ingin menggulingkan dan berhasrat menjadi rektor seperti isi dokumen tersebut? Dengan gaya sensasi ”bom buku”, tiba-tiba sebuah dokumen diantar ke Kelompok Kerja Wartawan Depok.

Judulnya ”Dokumen Rahasia, Rekaman Percakapan dari Skenario Besar Penggulingan Rektor Universitas Indonesia”. Masuk ke masalah isi, ternyata utamanya adalah ”sadapan” pesan singkat (SMS) dari telepon beberapa nama di atas. Selain melanggar hukum,  sebagian isinya dipelintir dan diletakkan dalam konteks yang keliru. Selain sadap-menyadap bergaya intelijen ini, sesungguhnya masih ada aneka telepon dan SMS intimidatif  pada beberapa nama. Forum resmi Dokumen itupun tidak memuat apa yang terjadi dalam forum resmi. Sebagai contoh,dialog langsung Iluni  FISIP UI dengan Rektor UI atau forum terbuka antar-elemen sivitas akademika tanggal 5 September. Konteks pertanyaan kritisdan orasi dihilangkan sama sekali. Yang ada hanya kebenaran tunggal si penulis dokumen rahasia. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa intelijen dan gaya intimidasi masuk keurusan kepemimpinan sebuah universitas.

Jawabannya barangkali soal doktor honoris causa dari Rektor UI untuk Raja ArabSaudi. Jelas, sebagian besar warga U Iterluka dengan pemberian yang umumnya mereka ketahui dari media itu. Kalau tidak ada ”bocoran” berita dari arabnews.com, bisa jadi tak ada media di Indonesia dan warga UI yang tahu. Lepas dari perasaan tersebut, hampir semua nama yang dituduh justru sadar bahwa gelar itu relatif sulit dicabut. Ini terutama karena kesalahan utama nya bukan pada penerima, melainkan pada pemberi dan proses tata kelola yang bermasalah. Dokumen juga tidak menyebut peran mediator Dipo Alam. Padahal, justru nama Sekretaris Kabinet ini yang menimbulkan tandatanya soal kemungkinan intervensi pemerintah! Seharusnya sikap pemerintah jelas dalam kasus doktor honoris causa ini. Ketika Ruyati, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, dieksekusi, Presiden SBY membuat konferensi per s(23/6) dan menyatakan telah menulis surat keprihatinan kepada Raja Arab Saudi.Isinya ”protes keras Kepala Negara RIatas eksekusi almarhumah Saudari Ruyati yang menabrak kelaziman norma dan tata krama internasional dengan tidak memberitahu pihak Indonesia”.

Lalu bagaimana mungkin, jika Presiden marah, Rektor UI dan utusan khusus presiden untuk Timur Tengah malah memberi Raja Arab Saudi gelar ke h o r m a t a n ? Apakah Presiden SBY cuma pura-pura marah demi pencitraan? Lalu melalui nama-nama pejabat negara di atas dia meminta Rektor UI memberikan penghargaan untuk ”berdamai”? Semogatidak. Karena jika benar, sandiwara pencitraan itu akan makin membuat banyak pihak terluka. Tuntaskan segera Bagaimana ke depan? Kisruh tata kelolaUI harus tuntas segera.

Selama ini, banyak pihak sadar bahwa membawa masalah ini ke media seperti membuka aib sendiri. Namun, filsafat dan etika komunikasi mengajarkan: lebih baik bicara untuk memperbaiki keadaan. Bandingkan dengan lembaga penegakan hukum kita yang tokoh-tokohnya justru saling menutupi aib. Jelaslahposisi kisruh ini relatif tidak ditujukan untuk mencabut gelar. Sebagian besar pihak justru menyambut opsi Mendiknas (Ko m p a s ,7/9) berupa memperpanjang masa jabatan MWA sampai transisi selesai dan mempercepat pemilihan rektor. Petahana tentu boleh maju sesuai aturan dan asas keadilan. Selesai masalah ini, energi dan waktu kita harus digunakan kembaliuntuk mengupas secara jernih ketidak jelasan nasib TKI, kasus Nazaruddin, Bank Century, IT KPU, rekening gendut, wisma atlet, korupsi Kemnakertrans, dan seterusnya.

EFFENDI GAZALI

Dosen UI, Namanya Juga Disebut dalam Dokumen Rahasia (Kompas 10 Sept 2011).