Bayi-bayi di ponpes tak terurus


Dari wall Mbak Herlina Khukmiyati

Untuk mengimbangi informasi2 seputar Ponpes ini..
Btw, di dalam Ponpes dikabarkan juga banyak bayi2 prematur…

“Menurut cerita para penjaga bayi, sebagian besar bayi-bayi yang ada di sana terlahir dalam kondisi kesehatan yang buruk. Kebanyakan lahir prematur dengan berat 1,8 sampai 2,2 kg. Ada yang divonis mengidap HIV karena ibunya bergonta-ganti pasangan (belakangan diperiksa lebih rinci dan ternyata bukan HIV). …”

Intinya dikabarkan, bahwasanya di sana 1 penjaga, merawat 10 bayi sendirian 24 jam.. Jadi…, menurut Bu Hafida Indrawati ini dikatakan, bila ingin membantu, bukan hanya pampers dan susu yang mereka perlukan.

Sebagai orangtua bayi prematur… Hati saya ngilu membaca kisah ini… Kita sama-sama tahu, bagaimana rumitnya merawat dan membesarkan bayi – anak premature. Terkadang, berdua dengan suami atau bahkan dengan tambahan pembantu pun, kita masih kerepotan.

Adakah solusi yg bisa komunitas ini bantu untuk bayi-bayi prematur yang kurang beruntung ini…? Mohon sumbang sarannya…

Cc. Prof. Raldi Artono Koestoer, Buk Primaningrum Bunda Alifbata, dr.Agung Zentyo Wibowo, dr. Ning Rahardhiyanti

Menjaga Bayi di Ponpes Milinium Sidoarjo

Ini masih tentang Ponpes (bukan panti asuhan) Milinium Roudlotul Jannah di Desa Tenggulunan, Candi, Sidoarjo. Ponpes yang digunjing sudah menelantarkan bayi-bayi yang diasuh. Ponpes yang terang-terangan dicurigai memakan donasi masyarakat untuk kepentingan pribadi pemimpinnya yang berpoligami. Saya jelas penasaran setengah mati. Apa iya?

Kebetulan teman-teman Forum Komunikasi Hotel dan Media (FKHM) Jawa Timur menjadwalkan ke sana untuk menyerahkan sumbangan barang kebutuhan bayi. Saya bukan anggota komunitas ini. Tapi tengah malam itu juga, saya WA ketuanya, wartawan The Jakarta Post yang menurut info sedang keliling membagikan sahur di jalanan. Toh saya tetap mana tahan. Merasa menunggu dua hari untuk berkunjung ke sana bersama teman-teman FKHM itu terlalu lama, sorenya saya berangkat duluan. Naik motor. Berdua sama putri sulung. Bawa segala baju, mainan, perlengkapan bayi dsb milik bayi saya yang jarang digunakan.

Ponpesnya cukup besar dan dihuni ratusan santri. Halaman dalamnya luas, cukup untuk parkir beberapa mobil tepat di depan pintu-pintu kamar. Ponpes ini terdiri dari beberapa bangunan, tapi yang paling ramai dikunjungi adalah kawasan yang mereka sebut -ada tulisannya- Santri Bayi. Awalnya saya sempat khawatir apakah akan diizinkan masuk bertemu bayi-bayi itu. Ternyata bebas. Semua bisa keluar-masuk begitu saja dan memfoto apa saja. Tidak ada larangan sama sekali.

Suasana sore itu ramai. Saya bertemu rombongan sebuah bank swasta dan beberapa komunitas. Ada yang mau menggelar bukber, ada yang menyerahkan donasi, ada juga yang mungkin seperti saya – ingin melihat langsung apakah kondisi para bayi di sana memang separah yang tersebar di sosial media.

Kawasan Santri Bayi itu terdiri dari satu bangunan membujur yang dijadikan empat kamar (dan satu area cuci-cuci di ujung kanan). Tiga untuk ruang bayi, satu untuk kamar wanita hamil. Lha. Saya kaget, kok ada kamar wanita hamil? Apakah mereka santriwati Milinium? Siapa yang hamili?

Ponpes ini ternyata menampung wanita-wanita hamil tanpa suami, kehamilan tidak diinginkan dsb. Mereka wanita-wanita hamil yang diusir keluarga atau lingkungan, tidak tahu harus kemana dan bahkan berniat kuat menggugurkan kandungan. Belakangan saya baru sadar kalau kenal baik dengan bidan yang biasa membantu persalinan di sana.

Salah satu wanita hamil yang dulu ditampung itu Kartika. Sekarang dia mengabdikan diri menjadi penjaga bayi. Tugasnya merawat sekitar 10 bayi sendirian (termasuk bayinya sendiri) pagi-siang-malam tanpa pengganti. Waktu saya tanya yang mana anaknya, dia tunjuk perempuan berbaju merah yang tidur tengkurap di matras. Kondisinya sama seperti bayi dan balita lain seruangan. Kurus. Kucel. Kartika paling muda di antara dua penjaga bayi lain (mungkin sekitar 28-33 tahunan). Kelihatannya dia juga yang paling lumayan kebersihan, perawatan dan ketelatenan mengurus bayi. Mungkin karena tenaganya lebih besar dibanding yang tua-tua.

Ruang bayi kedua dijaga Siyah (44). Di sini saya lihat seluruh penghuni berkepala plontos, laki-laki maupun perempuan. "Biar bersih, gak penyakitan," alasan Siyah waktu saya tanya. Karena banyak yang harus dimandikan, jadwal mandi sore para bayi di Ponpes Milinium biasanya 14.00-15.00. Tapi sore itu sampai jam 16.00 belum satu pun yang sempat dimandikan Siyah. Bayi-bayinya tidur pulas bergelimpangan. Satu boks rata-rata diisi 2-4 bayi/balita. Menurut Siyah, para bayi kecapekan karena sejak jam 07.00 sampai sore itu, tamu tidak berhenti datang bergantian menggendong mereka. Waktu salah satu anak berbadan paling besar (2 tahun, makannya banyak kata Siyah) terbangun dan mulai menangis, Siyah cepat-cepat memberi botol susu berisi air putih.

Kamar ketiga dijaga pengurus bayi paling senior. Kalau nggak salah dengar namanya Sumiati, tapi di sana biasa dipanggil ‘mbah’. Dia sudah delapan tahun merawat 10 bayi sendirian setiap hari tanpa libur. Tidurnya rata-rata dua jam per hari. Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana rasanya.
DARI TBC SAMPAI GLUKOMA
Si mbah (kalau tidak salah tangkap ya, soalnya dia pas ngomong pakai bahasa Jawa) datang ke Ponpes Milinium beberapa tahun lalu membawa dua anaknya yang kecil-kecil. Tanpa suami, tanpa uang, tanpa pekerjaan, tanpa tujuan. Dia dan anak-anaknya ditampung di sana. Dirawat, dibina dan si mbah pun akhirnya kebagian tugas menjaga bayi.

Menurut cerita para penjaga bayi, sebagian besar bayi-bayi yang ada di sana terlahir dalam kondisi kesehatan yang buruk. Kebanyakan lahir prematur dengan berat 1,8 sampai 2,2 kg. Ada yang divonis mengidap HIV karena ibunya bergonta-ganti pasangan (belakangan diperiksa lebih rinci dan ternyata bukan HIV). Ada yang terkena glukoma sehingga salah satu biji matanya diambil (usia belum lima tahun). Lebih banyak lagi yang TBC. Semua ibu pasti tahu, mengurus satu bayi sehat lucu pun lelahnya bukan main. Jadi jangan tanya bagaimana teparnya merawat 10 bayi sakit-sakitan dengan berbagai keluhan berbeda.
Seandainya ada pilihan, mungkin saja si mbah, Siyah dan Kartika juga sudah lama meninggalkan mereka.

Kondisi bayi dan balita memang banyak yang kurus, perut luka-luka seperti gatal, kulit kepala kotor, berantakan dari ujung rambut ke ujung kaki. Saya tidak melihat ada yang wajahnya berbinar ceria (mungkin lagi bubuk pas saya ke sana). Banyak yang hanya diam memandang, mengamati tanpa suara. Dan hanya di tempat seperti ini saya bertemu bayi dan balita yang mau digendong siapa saja kapan saja. Sampai ada penjaga mengeluh kalau bayinya digendong. Sebab begitu dilepas dan dikembalikan ke tempatnya, bayi pasti menangis keras membuat bayi lain yang tidur terbangun. Penjaga pun akan susah mendiamkan, sementara yang gendong tadi sudah pergi ke kamar lain dan mungkin sedang menggendong bayi yang lain.

Tapi saya tidak bertemu bayi yang diikat seperti dihebohkan. Soal ruam popok, saya tidak mengecek pantat-pantat bayi satu per satu. Kalau lihat banyak penjaga baru tahu bayinya ada yang pup (dan pampersnya sangat penuh) dari para pengunjung, ruam popok sangat memungkinkan.

Sumbangan pakaian, makanan dan mainan memang berlimpah. Tapi jelas ada kebutuhan yang tidak bisa tercukupi dengan uang. Ada kebutuhan yang tidak terselesaikan dalam bentuk barang, yaitu tenaga penjaga. Tiga penjaga di sana jelas kewalahan mengurus sekitar 10 bayi sendirian, tanpa jeda dan bantuan. Saya merinding dengar cerita Siyah, bahwa para bayi pasti akan ditinggalkan saat waktu Tarawih. Semua penghuni ponpes wajib shalat Tarawih berjamaah (kecuali wanita yang sedang haid), termasuk para penjaga bayi. Maka sebelum waktu Tarawih, bayi-bayi diminumin susu agar kenyang. Nantinya bila mereka menangis meraung sekeras apapun juga, tetap akan dibiarkan. Sampai waktu Tarawih selesai dan penjaga kembali ke kamar beberapa saat kemudian. Oh Tuhan…

Para penjaga ini juga bukan orang-orang yang punya bekal ilmu parenting memadai seperti ibu-ibu pemilik akun sosial media. Pengetahuannya terbatas. Misalnya, bagi mereka susu adalah jawaban untuk semua tangisan. Padahal bayi menangis belum tentu karena kelaparan. Bayi lelah pun belum tentu minta ditidurkan. Lalu, kenapa ponpes hanya punya tiga penjaga bayi?

Sudah berulang kali mereka berusaha merekrut tenaga tambahan, tapi tidak ada yang betah. Para working mom pasti tahu susahnya mencari penjaga untuk anaknya saat ditinggal kerja. Apalagi ini. Satu orang bertugas merawat beberapa bayi yang sebagian di antaranya tidak sehat. Ada yang mau? Ponpes siap menggaji lho smile emoticon

Seandainya itu bisa diatasi dengan berdus-dus susu, popok sekali pakai, bubur instan, pakaian dan mainan yang disumbangkan, tentu masalah selesai. Tapi sayang bukan itu persoalannya. Tenaga penjaga sangat minim. Tentang ini, saya pun menyesalkan keputusan ponpes yang tidak mengizinkan satu pun bayinya untuk diadopsi.

BAYI KUMAL VS ALPHARD KEREN
Lalu kecurigaan muncul di sana-sini. Saya baca, ada yang curiga bayi dijadikan alat menarik sumbangan. Lalu kemana larinya donasi yang besar kalau kondisi kamar tetap kecil, tanpa pendingin ruangan? Ada juga yang berani menyimpulkan, dana sumbangan dipakai untuk beli Alphard buat para istri muda pemimpin ponpes.

Saya sih tidak bertemu Alphard waktu hanya 90 menit di sana. Yang saya tahu, Gus Mad pimpinan ponpes memang bisnis jual beli mobil dan tanah. Apakah Alphard yang pernah terlihat parkir di sana memang milik istri-istrinya atau justru mobil dagangan, i have no idea.

Berita utama halaman Metropolis koran Jawa Pos edisi Senin 6 Juli 2015 memuat pernyataan Gus Mad tentang sumber dana pengelolaan Ponpes Milinium. Pertama, dari keuntungan bisnis jual beli mobilnya. Kedua, jual beli lahan (tanah). Ketiga, bantuan pemerintah dan masyarakat. Keempat, tamu yang minta bantuan pribadinya untuk menyelesaikan masalah rumah tangga dsb. Sumber dana terakhir ini yang paling besar karena banyak yang royal memberi sebagai ucapan terima kasih.

Menurut Gus Mad, biaya operasional sebulan sekitar Rp 100 juta. Bayar listrik Rp 7 juta, gaji pengasuh dan guru, makan, susu, air dan sebagainya. Penghuni ponpes ini memamg bukan hanya bayi dan balita yang sekarang sedang jadi sorotan. Ada ratusan santri dan santriwati lain yang juga makan-minum-tidur-mandi di sana.

Tulisan ini untuk melengkapi informasi tentang Ponpes Milinium yang dicari teman-teman nun jauh dari Sidoarjo. Setidaknya agar semua tahu, bila ingin membantu, bukan hanya pampers dan susu yang mereka perlukan. (*)

Leave a Reply (boleh kasi komentar)