Raffles seorang Otodidak


— On Mon, 10/1/12, MMI Ahyani <ahyani@yahoo.com> wrote:

Date: Monday, October 1, 2012, 12:01 PM

Tulisan yg menarik dari seorang yg sangat cinta & mumpuni di bidang keilmuannya, meski hrs bekerja sbg seorang birokrat di BP Migas,..
Salam,
Ahyani/Bdg
‘a winner is not one who never fails, but one who never quits!’
—– Forwarded Message —–
From: Awang Satyana <a…………………..@yahoo.com>
To: IAGI <iagi-net@iagi.or.id>; Forum HAGI <forum@hagi.or.id>; Geo Unpad <geo_unpad@yahoogroups.com>; Eksplorasi BPMIGAS <eksplorasi_bpmigas@yahoogroups.com>
Sent: Monday, October 1, 2012 11:55 AM
Subject: [Forum-HAGI] RAFFLES, WALLACE, JUNGHUHN: PARA AUTODIDAK & EKSTREMIS
 “Perlu dikagumi apa yang dapat dicapai oleh seseorang dalam keadaan histori tertentu apabila orang itu adalah tokoh yang luar biasa…” (Rudigert Siebert dalam “Deutsche Spuren in Indonesien”, Horleman Verlag, 2002)Seorang bapak, guru matematika di sebuah sekolah menengah, bertanya kepada saya dalam Sarasehan Para Ilmuwan Perintis Indonesia yang diselenggarakan Geotrek Indonesia dan Badan Geologi, “Pada masa kini, apakah peranan seorang autodidak dan ekstremis masih besar dan dapat dihargai dalam kehidupan?” Pertanyaan ini dinspirasi oleh kisah hidup Raffles, Wallace dan Junghuhn yang berkarya sangat besar dan menentukan pada abad ke-19, padahal mereka semuanya autodidak dalam bidangnya. Mereka saya sebut para ekstremis karena karya mereka tak mungkin lahir kalau mereka biasa-biasa saja atau sedikit lebih, tidak, mereka berbuat yang ekstrem yang orang lain rasanya susah melakukannya kalau tak ada ekstremitas di jiwanya.

Saya menjawabnya dulu secara lugas, autodidak dan ekstremitas adalah syarat mutlak buat seseorang punya karya besar dan diakui. Tidak ada karya besar, magnum opus, dilahirkan tanpa ekstremitas. Apakah pada masa kini seorang autodidak dihargai? Kita definisikan dulu autodidak di sini, yaitu orang yang belajar sendiri tanpa pendidikan formal di sekolah2. Jelas dia tak punya gelar akademik seperti diberikan di sekolah2 formal. Tetapi kemampuan tak berkorelasi positif dengan gelar, sekalipun itu seorang doktor atau gurubesar. Mestinya berkorelasi positif, tetapi ternyata tidak, suatu keanehan, tetapi kenyataan. Pada masa kini, masa ketika gelar2 akademik banyak dikejar dari yang junior sampai yang senior, masa ketika orang2 dengan gelar plus punya peluang lebih dalam berkarier, maka tak ada tempat buat seorang autodidak. Paling tidak, seorang autodidak sudah tersingkir sejak awal saat sebuah lowongan pekerjaan misalnya membutuhkan gelar minimal S2 dan seterusnya. Saya tak yakin seorang autodidak dengan kemampuan luarbiasa tetapi gelar minimal (S1) dipertimbangkan untuk diterima ketika spesifikasi lowongan mengharuskan gelar minimal adalah S2. Bagaimana bahwa orang2 sekarang mengejar gelar akademik plus adalah kenyataan bahwa para S1 sekarang ini lebih langka dibandingkan S2. Dan, marak perguruan2 tinggi mengadakan pendidikan2 pascasarjana entah yang reguler, maupun yang diadaptasi agar bisa ditempuh sambil bekerja demi tambahan gelar.

Kembali kepada Raffles, Junghuhn dan Wallace.

Stamford Raffles dengan karyanya, History of Java (1817) masih kuat menentukan analisis2 sejarah pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19. Sebab Raffles dengan sangat detail menuliskan dan menggambarkan semua yang dilihatnya. Padahal, Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Jawa atau Bengkulu hanya bermodalkan sekolah sampai sederajat SMP, 14 tahun putus di tengah jalan. Kalau bukan autodidak dan ekstremitas, dia tak akan dapat menuliskan dengan sangat detail flora dan fauna, tentang adat-istiadat orang Jawa dan Sumatara, tentang bangunan2 bersejarah yang ditemukan kembali dan dibukanya, menggagas pendirian Kebun Raya Bogor, Museum Etnografi di Batavaia, atau namanya dipakai sebagai nama spesies di beberapa flora dan fauna di Indonesia. Bagaimana ia bisa memimpin dengan baik Jawa kalau bukan seorang autodidak sebab pendidikan politik pemerintahan pun tak ada di riwayat hidupnya.

Junghuhn, tak ada satu pun gelar akademik dalam bidang ilmu pengetahuan alam ditambahkan kepada namanya. Dia memang seorang dokter militer, dokter karena profesi bukan akademik sebab sebagai dokter pun dia tak lulus sekolah karena banyak masalah. Tetapi, adakah orang dengan kecintaan dan antusiasme yang begitu berkobar seperti Junghuhn meneliti alam Jawa dan memetakannya selama 13 tahun termasuk mendaki semua gunungapi di Jawa dan menuliskannya dalam empat buku tebal yang bila ditumpuk akan setinggi 30 cm, belum ratusan atikelnya yang muncul di berbagai jurnal. Juga, peta topograi Jawa dengan ukuran 4×1 meter yang sangat akurat dan tak kalah dengan peta google masa kini padahal dibuat Junghuhn tahun 1855. Sampai sekarang, belum ada peneliti Jawa dengan minat dan ketekunan luar biasa seperti Junghuhn. Satu lagi, pada masanya, Junghuhn sering bentrok dengan para ilmuwan sekolahan macam CL Blume, kurator herbarium Kerajaan Belanda, juga dengan para ahli kimia saat Junghuhn membudidayakan kina. Kalau bukan penganut autodidak dan ekstremis, tak mungkin Junghuhn menghasilkan karya2 besarnya.

Wallace meskipun hanya bersekolah sampai umur 13 tahun, toh dia menyaingi prestasi Charles Darwin dalam bidang evolusi dan seleksi alam. Wallace bukan orang akademik dan  anggota perhimpunan ilmuwan yang terhormat Royal Society seperti Darwin. Dalam bidang biogeografi, dia tak tersaingi siapa pun pada masanya. Dan adakah gurubesar geologi pada masanya yang berpikir seperti Wallace bahwa Sulawesi itu dibangun oleh bagian2 kerakbumi yang saling berbenturan sehingga faunanya anomali? Tidak ada, tidak juga Charles Lyell, bapak geologi modern yang terhormat kawan Darwin di Royal Society. Wallace menulis soal benturan Sulawesi ini pada tahun 1859, sebelum para ahli geologi peneliti  Indonesia membuktikannya dengan teori tektonik lempeng pada pertengahan 1980-an. Soal publikasi, adakah ilmuwan sekolahan yang menulis 22 buku dan 747 artikel (191 artikel diterbitkan oleh Nature, jurnal terkenal dalam ilmu pengetahuan dan terkenal punya standar paling tinggi) seperti Wallace? Padahal Wallace menghasilkan semua itu bukan sebagai sarjana, sederajat SMP pun dia tak lulus. Kalau bukan penganut autodidak dan ekstremis, tak mungkin Wallace melakukan itu, tak mungkin ia mengelilingi Indonesia selama 8 tahun menempuh 22.000 km kalau orang biasa2 saja.

Mungkin kini zamannya para autodidak dan ekstremis seperti Raffles, Junghuhn dan Wallace sudah lewat sebab kini ilmu pengetahuan bercabang begitu banyak, lahir para spesialis2 bergelar doktor atau gurubesar keluaran perguruan2 tinggi dan makin banyak, sehingga pekerjaan2 raksasa dan karya2 besar sepanjang masa seperti yang dilakukan oleh  Raffles, Junghuhn dan Wallace sekarang dikerjakan oleh begitu banyak orang dan begitu spesialis.

Tetapi kecintaan akan ilmu yang diputuskan untuk ditekuni, ketekunan meneliti dan mencatatnya, kemauan keras-mental baja atas target yang ingin dicapai, konsisten menyelesaikan pekerjaan, keberanian menjelajah-meneliti-mempublikasi-berdebat, daya tahan di lapangan dan di atas meja yang tinggi, autodidak terus belajar sendiri, antusiasme yang tinggi-semangat berkobar, dan EKSTREM adalah ciri bersama Raffles, Junghuhn dan Wallace yang dapat kita teladani.

Salam,
Awang

 

Satu tanggapan

Leave a Reply (boleh kasi komentar)