PANDAN


Ini buatannya si Pecas Ndahe… Luarbiasa bagus.-

Saya comot saja tanpa minta ijin, semoga ybs ikhlas.-

***

Pandan

Oleh: Pecas Ndahe

Setelah tujuh purnama dan malam-malam yang meranggas di musim panas, lelaki wangi pandan itu akhirnya bertemu dengan bidadari bersayap retak.

Seperti sebelumnya, pertemuan terjadi pada dinihari, batas antara malam dan pagi yang belum datang. Tapi, kali ini tanpa bintang dan rembulan. Awan hitam menyembunyikan mereka di pojokan langit. Kilat sesekali menyala di cakrawala.

“Kukira kau sudah terbang menuju tanah impian dan tak kembali lagi. Apa yang membawamu kemari, Bidadari?” tanya lelaki wangi pandan itu setengah tak percaya.

Bidadari bersayap retak memamerkan senyumnya yang seteduh telaga, lalu menjawab, “Kamu.”

Lelaki itu terhenyak. Jawaban itu seperti mantra yang membuatnya jadi bisu. “Aku?”

Bagaimana mungkin, lelaki itu membatin. Tujuh purnama silam, bidadari itu pergi dalam gegas lekas-lekas — seperti gerimis kepagian. Air kali langsung likat. Embun lindap. Dan matahari bersembunyi sepekan lamanya.

Lelaki wangi pandan itu ingat, hujan tumpah, geledek menggeletar perih ketika bidadari itu berkata, “Aku harus pergi.”

Lelaki itu seperti menelan biji duku. Di bawah langit mendung, ia menengadahkan kepala, merasakan hujan yang mengguyur kepalanya seolah tusukan jarum-jarum tajam. Sejenak kemudian, lelaki wangi pandan itu merasa seperti dirajam selaksa sembilu.

Mengapa kau harus pergi, bidadari? Adakah yang tak terkatakan?

Bidadari itu cuma tersenyum, seperti biasanya. Lalu mengepakkan sayap retaknya membubung ke angkasa.

Sejak itu, hidup lelaki wangi pandan bagaikan roller coaster. Jatuh bangun tak keruan. Sampai kemudian dia memutuskan menggelandang bersama bintang-bintang setiap malam. Ia ingin menelikung sepi dengan caranya sendiri.

Tapi jalan panjang pencarian yang disusurinya ternyata tak menyembuhkan melainkan justru kian memerihkan. Dari pintu ke pintu ia mengetuk tanya. Dari ladang ke ladang ia meminta harap. Hanya kepedihan yang dia dapatkan.

Ah, jika saja sang waktu bisa dihentikan, lelaki wangi pandan itu pasti akan memilih saat pertama mereka bertemu membeku. Ia ingin membingkainya, menjadikannya selembar kenangan yang selalu bisa ditengok ulang. Sayang, dulu cuma abadi di masa lalu. Masa lalu seperti batu padas, tak bisa diapa-apakan.

Adakah bidadari itu peduli?

Di tepi ladang impian, bidadari duduk di kursi kayu mahoni. Ia termenung dalam perasaan yang ganjil, tentang lelaki wangi pandan. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Lelaki itu telah mematri perasaan dan hatinya ke dasar palung yang gelap. Dan ia merasa tersesat.

Segalanya jadi tak mudah. Tapi bagaimana mungkin semua mesti dikatakan? Bagaimana mungkin semua kartu yang dipertaruhkan terbuka begitu saja? Ia takut lelaki wangi pandan itu kecewa.

Bidadari itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Kapankah aku bisa bicara dengan lelaki wangi pandan itu tentang perasaan yang kian menyiksa, tentang gelisah yang tak teredam? Apakah hanya dia yang merasakan hidupnya bagaikan menunggang gelombang pasang?

Lelaki wangi pandan itu pasti tak tahu bagaimana hati bidadari menggeletar setiap kali mengenang pertemuan pertama yang menggetarkan itu. Sesuatu yang membuatnya terkenang adalah perasaan aman dan nyaman. Tak pahamkah lelaki itu? Haruskah aku menemuinya lagi … lagi … dan lagi untuk memastikan semuanya?

Dan bidadari sayap retak itu pun terpelanting di simpang jalan … sampai kemudian ia memutuskan menemui lelaki wangi pandan di tepi malam. Ia merasa harus menghentikan perasaan yang kian menyiksa, juga rindu yang tak terkatakan, dan cinta yang tak terungkap. Melebur batas-batas.

Maka, ketika mereka akhirnya bertemu, kata-kata yang semula menari di pelupuk mata langsung sirna. Hanya ada tatapan mata. Bias-bias rona pelangi. Hening.

Dan segalanya pun terjelaskan ketika lelaki wangi pandan itu menggenggam tangan bidadari dengan lembut dan mengajaknya berjalan menyusuri pagi, siang, malam, dan seluruh sisa hidup mereka ….

Leave a Reply (boleh kasi komentar)