Isbath Demi Ayat atau Umat ? Sarlito


ISBAT: Demi Ayat atau Umat?

Sarlito Wirawan Sarwono

Senin, malam Selasa, 29 Agustus 2011, saya dan segenap keluarga besar ibu saya nonton sidang Isbat yang diketuai oleh Menteri Agama Surya Darma Ali, yang disiarkan di TV. Setiap malam takbiran keluarga kami memang selalu berkumpul di Rumah Piatu Muslimin, Jl. Kramat Raya, karena memang kami pengelola panti asuhan itu sejak didirikan oleh Eyang saya 80 tahun yang lalu.
Seperti diketahui, sidang Isbat adalah rapat yang dilakukan oleh pemerintah untuk menentukan 1 Syawal, dengan mengundang wakil-wakil ormas Islam, dan pakar (tadi malam ada wakil dari LAPAN dan kalau tidak salah dari pusat pengamat bintang, Boscha), bahkan saya lihat utusan perwakilan negara asing juga hadir (beberapa mengenakan gamish dan sorban Arab). Maka dengan penuh minatpun kami semua menyimak TV, karena sebelumnya sudah beredar isyu, bahwa ada kemungkinan bahwa lebaran akan jatuh pada hari Rabu, bukan hari Selasa.
Betul saja. Pedebatan terjadi, hampir satu jam, dan topiknya adalah kapan lebaran? Selasa atau Rabu? Maka utusan-utusan pun saling adu ayat dan hadis. Para pakar menimpali dengan pandangani lmiah dari segi ilmu falak, yang disebut juga ilmu astronomi (bukan astrologi). Semuanya membela pendiriannya masing-masing. Yang percaya pada metode Rukyat hilal, mengatakan bahwa lebaran jatuh hari Rabu, karena 30 pengamat bulan yang dipasang di seantero negeri menyatakan tidak melihat hilal. Ada 2-3 orang yang dilaporkan melihat, tetapi ditolak. Tidak sah! Karena melanggar ayat-ayat …bla…bla… bla (Kok bisa ditolak ya? Padahal setiap pengamat hilal adalah petugas resmi yang disumpah. Jangan-jangan ada rekayasa).
Sebaliknya, penganut Hisab, tetap bertahan pada hari Selasa, dan wakil Muhamadiyah, yang kalah suara minta izin bahwa mereka akan tetap berlebaran besok, Selasa. Maka akhirnya Menteri Agamapun, dengan pertimbangan lebih banyak yang setuju dengan Rabu, menetapkan lebaran jatuh pada hari: Rabu, 31 Agustus, 2011.
***
Di situlah mulai terjadi kehebohan di panti asuhan RPM. Beduk yang sudah disiapkan tidak jadi ditabuh. Kembang api dan bingkisan-bingkisan yang sudah dijejer, siap untuk dibagi, disimpan lagi. Anak-anak yatim yang sudah duduk rapi, berjejer di ruang makan selepas sholat Isa, dibubarkan dan diuruh shalat taraweh lagi. Bagian dapur harus menyiapkan makan sahur lagi buat mereka, dan karena tidak ada persiapan sahur, maka ransum lebaran disantap saja buat sahur. Buat lebaran bisa masak lagi besok. Petugas salah satu stasiun TV yang sudah siap meliput acara takbiran pun kami minta untuk datang lagi besok.Tetapi yang peling repot adalah menetukan petugas-petugas penerima zakat, infaq dan sedekah (ZIS) yang masih akan berlanjut sehari lagi. Diperkirakan bahwa hampir separuh dari petugas ZIS berlebaran hari Selasa. Buat mereka, Islam Muhamadiyah, Islam NU, atau Islam KTP, gak perduli. Pokoknya lebaran Selasa. Titik.
Itu artinya mereka tidak mau bertugas lagi menerima ZIS pada hari Selasa. Padahal umat yang membayar zakat di panti asuhan RPM mencapai puncaknya pada malam takbiran pemerintah (bukan tahun ini saja, tetapi juga pada tahun-tahun yang lalu, di saat ada Lebaran kembar). Pada malam takbiran seperti itu, diperlukan banyak tenaga, termasuk yang harus menggotong beras dari truk/mobil ke gudang, sehingga semua petugas ZIS harus dikrahkan. Sampai larut malam, adik saya, Sarsito, yang mengomandoi petugas ZIS masih sibuk mencari tenaga bantuan.
Ibu saya (yang sudah berusia 89 tahun tetapi belum pelupa seperti Muhamad Nazarudin yang baru berumur 32 tahun) lebih pusing lagi. Hari pertama dan kedua rumahnya selalu penuh dengan tamu. Maklum sudah generasi eyang buyut. Beliau tidak bisa lagi membatalkan
cattering, pada jam 20.30. Maka beliaupun memutuskan untuk tetap berlebaran Selasa. Bukan karena beliau Muhamdiyah, apalagi Salafiyah, melainkan karena urusan
cattering saja. Jadi sudah bukan
llilahi-taala lagi, melainkan
cattering-taala. Otomatis segenap jajaran keluarganya (anak-anak, cucu, cicit) harus taat komando: hari Selasa kumpul di makam Eyang saya (bapak-ibunya ibu saya), sungkeman dan lebaran sesuai tradisi. Yang masih puasa silakan puasa, yang sudah lebaran silakan makan-makan (yang sudah disiapkan oleh
cattering). Hari Rabu ke makam ayah saya (suaminya ibu saya) dan seterusnya.
Tetapi kondisinya tidak semudah yang dibayangkan. Seorang keponakan saya yang masih mau puasa, mengeluh (di belakang Eyang-nya), “Trus ngapain kita sungkeman, padahal masih puasa”. Nah, lo! Dia benar juga. Buat yang masih puasa, tentu nggak afdol untuk beritual lebaran, karena lebaran atau Idul Fitri, ya harus selesaikan puasa dulu. Jadi diam-diam, keluarga besar kami sudah terbelah dua. Yang lebaran Selasa dengan ikhlas, dan yang terpaksa beritual lebaran, padahal dalam hatinya masih puasa.
***
Lebaran di negeri ini dan banyak negeri lain di seluruh dunia, bukan sekedar masalah religi, tetapi jauh lebih banyak masalah sosialnya. Lihatlah betapa orang mau bersusah payah untuk mudik, bahkan kalau perlu dengan berkorban waktu, tenaga, biaya, bahkan nyawa. Bukan karena perintah Allah. Tidak ada ayat Quran atau hadist sekalipun yang menyuruh umat pulang mudik. Orang tewas karena kelelahan antri tiket kapal/kereta api, tidak dinyatakan
syahid (bukan seperti perintah haji, kalau anda meninggal dalam haji, anda mati
syahid dan otomatis ahli surga). Tetapi karena pulang kampung memang sudah merupakan bagian dari tradisi atau budaya lebaran di Indonesia. Lebaran adalah masalah sosial-budaya, bukan masalah agama semata. Dalam bahasa Al Qur’an, lebaran adalah masalah
hablum minanas, bukan
hablul minallah.Padahal sepotong kalimatpun tidak keluar tentang masalah sosial-budaya ini dalam rapat Isbat malam Selasa yang lalu. Debat panjang yang diakhiri keputusan sesuai suara terbanyak (walau tanpa
voting), adalah debat tentang siapa yang paling benar di mata Allah (menurut versi masing-masing), padahal buat Allah sama saja. Mau Selasa, mau Rabu, atau gak mau lebaran sama sekali, juga tidak akan ada pengarunya buat Allah. Malah mungkin Allah di surga sana, gemes melihat sidang Isbat di Kemenag, Jakarta. “Ngapain sih ello-elo pada ngurusin guwe. Tuh, umat guwe yang musti elo urusin” (bahasa gaul versi Sarlito, maaf yang tidak berkenan, kan masih lebaran).
Mengapa debat itu tidak membicarakan bagaimana dampak lebaran Selasa atau Rabu pada kehidupan sosial umat. Mesjid-mesjid yang sudah siapkan tenda-tenda untuk sholat Ied dan harus bayar sewa tenda sehari lagi. Ibu-ibu yang terpaksa menyantap hidangan lebaran buat sahur dan tidak bisa masak lagi karena tidak ada anggaran. Mal-mal atau perusahaan-perushaan vital yang harus memayar lembur pegawainya sehari lagi, karena lenbur hari Selasa sudah tidak bisa dibatalkan lagi. Hubungan anak-orangtua, atau suami-isteri yang terganggu, karena yang satu mau lebaran Selasa dan yang lain Rabu. Si anak berkata sambil sungkem, “Bapak, maafkan saya”. Jawab si Bapak, “Belum, belum maaf-maafan. Besok lebarannya”. Acara-acara TV yang sudah disiapkan, yang harus diatur ulang penayanangannya karena pergeseran hari lebaran,
Dalam sidang Isbat
memang disebut-sebut, untuk saling menghargai, dan tidak saling menggangu. Utusan Muhamadiyah minta agar ibadah Idul Fitri hari Selasa diamankan oleh umat lainnya, sementara hari Rabu, umat Muhamadiyah siap mengamankan Idul Fitri dari umat lain.
Itu betul sekali. Allah pun berfirman “
lakum dinukum waliyadin” (agamu-agamamu, agamaku agamaku). Tetapi ayat itu dimaksudkan untuk umat dari agama lain. Jadi dengan umat non-Islam, termasuk Kristen, Yahudi, bahkan Ahmadiyah yang sudah kita anggap non-muslim, kita wajib saling menghargai dan saling menjaga. Tetapi untuk sesama muslim, berlaku dalil
ukuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim. Adanya lebaran kembar ini, jelas menghancurkan
ukuwah Islamiyah. Karena itu, pemerintah Malaysia gak banyak cincong: Lebaran Selasa! Titik!

Jakarta, 30 Agustus 2011.
(Mohon maaf prof Sarlito, saya copas artikelnya dari milis, semoga bapak berkenan. Andai tidak berkenan nanti saya hapus. Ini mumpung masalahnya masih hangat… Salam saya Ral.-).

Leave a Reply (boleh kasi komentar)