Pujian Nan Sejuk


KEKUATAN DARI  PUJIAN

Di eropa ada kisah seorang penyanyi terkenal, seorang wanita yang memiliki suara yang bagus sekali. Wanita ini bersuamikan pemain musik, pemain keyboard, dan seorang pengarang lagu.
Begitu pandainya sang suami ini tentang lagu, nada, birama, tangga nada dan hal-hal lain di bidang musik semacam itu, sehingga dia selalu menemukan apa yang harus dikoreksi ketika isterinya sedang menyanyi.
Kalau isterinya menyanyi selalu saja ada komentar dan kritik seperti; bagian depan kurang tinggi, lain kali dia berkata bagian ini kurang pelan, lain kali dia berkata bagian akhir harusnya “kres”..naik sedikit, dsb..selalu saja ada komentar pedas yang dia lontarkan kalau isterinya menyanyi dan bersenandung.
Akhirnya sang istri malas menyanyi. Karena apa yang selalu dia nyanyikan selalu saja ada yang salah, jadi dengan begitu selalu timbul pertengkaran.
Singkat cerita, karena suatu musibah, sang suami meninggal dan lama setelah itu si wanita menikah lagi dengan seorang tukang ledeng.
Tukang ledeng ini tidak tahu menahu soal musik. Yang ia tahu isterinya bersuara bagus dan dia selalu memuji isterinya kalau bernyanyi.
Suatu ketika isterinya bertanya: “Sayang, bagaimana laguku ?” dan dia berkata kepada isterinya: “Ma…saya ini selalu ingin cepat pulang karena ingin mendengar engkau menyanyi, ma!!”
Lain kali dia berkata,”Ma..kalau saya tidak menikah dengan engkau, mungkin saya sudah tuli kali ma…, karena bunyi dentuman, bunyi gergaji, bunyi cericit drat pipa ledeng, gesekan pipa ledeng dan bunyi pipa lainnya yang saya dengar sepanjang hari kalau saya bekerja….
Sebelum saya menikah denganmu …saya sering mimpi dan terngiang2 suara2 gergaji dll yang tidak mengenakkan itu ketika tidur.
Sekarang setelah menikah dan sering mendengar engkau menyani…lagumulah yang terngiang2…”
Istrinya sangat bersuka cita, tersanjung merasa diterima dengan pujian yang diterimanya dan membuat dia gemar bernyanyi, bernyanyi dan bernyanyi…Mandi dia bernyanyi, masak dia bernyanyi dan tanpa disadarinya dia berlatih, berlatih dan berlatih.
Suaminya mendorong hingga dia mulai merekam dan mengeluarkan kaset volume pertama dan ternyata disambut baik oleh masyarakat. Wanita ini akhirnya menjadi penyanyi terkenal, dan dia terkenal bukan pada saat suaminya yang ahli musik, tetapi saat suaminya seorang tukang ledeng, yang memberinya sedikit demi sedikit pujian ketika dia menyanyi.
Sedikit pujian memberikan penerimaan…sedikit pujian memberikan rasa diterima…memberikan dorongan…semangat dan dorongan untuk melakukan hal yang baik dan lebih baik lagi.
Sedikit pujian dapat membuat seseorang bisa meraih prestasi tertinggi yang bisa diraihnya.
Omelan, bentakan, kecaman, amarah atau kritik yang tidak membangun tidak banyak merubah…
Karena itu marilah kita saling memberikan sedikit pujian satu dengan yang lain. Baik kepada anak-anak kita, kepada pasangan kita, kepada teman, kepada siapapun yang membutuhkan motifasi untuk tetap maju, bukan perkataan yang menjatuhkan.

-0-    Disalin dari milis SMPN-1 Jkt, kelompok 69

Editing 2013 after Lebaran 1434 H

Nah yang ini pengalaman sendiri… Alkisah sekian tahun yang lalu di usia paruh baya anak pertama sdh menginjak bangku SMA. Istri saya, seperti juga kebanyakan wanita karier lain, orangnya perfeksionis atleast kalau dibandingkan dengan saya. Segala sesuatu pastilah dipersiapkan dengan baik, untuk perkerjaan kantor maupun aktivitas rumah.  Sebaliknya saya yang notabene kerjaannya jadi staf pengajar di suatu perguruan tinggi malah “hidup berantakan” alias selalu kurang persiapan dan sering terlambat mempersiapkan segala sesuatunya. Jadilah saya sering dimarahin oleh istri kalau besok sudah harus presentasi seminar diluar kota, tapi s/d malam masih belum selesai menyiapkan makalah atau bahan presentasi. So terpaksalah jungkir balik semalam sampai telat tidur, padahal paginya sudah kudu berangkat dengan pesawat pagi.

Demikianlah karena kerjaan saya sebagai dosen maka, kadangkala saya menulis artikel, walaupun tidak khusus untuk dikirim ke media. Semua ini saya lakukan karena saya menganggap bahwa kalau profesi saya sebagai pengajar, sudah seharusnyalah saya mampu menulis entah itu buku ilmu pengetahuan atau apa saja. Semestinya menulis itu embeded dengan kerjaan sebagai pengajar di sekolah apalagi di sekolah tinggi. Setiap kali saya selesai menulis artikel 1-2 halaman, maka saya minta istri saya membacanya. Dan seperti seorang ibu guru, beliau membaca dengan serius, bahkan mengoreksi semua tanda baca, dan mencorat-coret semua kalimat-kalimat yang tidak enak menurutnya. Setelah selesai mengoreksi tulisan saya, maka dijelaskanlah semua kesalahan yang saya buat dalam tulisan itu, sekaligus ngajarin “mustinya nulisnya gini…gitu… kalimatnya yang bagus ..bla..bla…bla”. Panjanglah pokonya jarang ceramahnya kurang dari 1/2 jam. Dan saya manggut-manggut patuh seperti seorang murid yang dimarahi ibu guru.

Hingga suatu saat setelah selesai diceramahi untuk yang kesekian puluh kalinya, karena seperti biasalah saya dengan sifat ‘imperfeksionis’ tentulah saya mengulang kesalahan yang sama berkali-kali. Otomatis ceramah akan makin panjang dari waktu kewaktu.

Hatta, suatu saat setelah ceramah selesai, saya ngedumel : “Jangan nyeramahin saya melulu dong… kalo cuma ngoreksi dan komen mencari kesalahan orang lain mah gampang, coba dong kamu sendiri menulis. Kan kamu sudah lama kerja dan banyak pengalaman kita harus berbagi pada orang lain”. Kali ini ‘ibu guru di rumah’ terdiam, mungkin sindiran saya tepat juga kena sasarannya. Sekian minggu kemudian…Eh benar adanya, beliau menulis, dan saya lihat sangat serius didepan laptopnya. Bahkan kelihatannya tidak bisa diganggu.

Esok malam, setelah makan, beliau menunjukkan pada saya artikelnya. Dan kali ini, agak malu-malu karena ini kali pertama artikelnya dia bikin untuk sharing pengalamannya yang sudah 15 tahunan saat itu dibidang properti. Kelihatan sedikit takut, karena keadaan sekarang terbalik, saya yang berada pada posisi jadi editor dan komentator. Kelihatan beliau sudah pasrah kalo mau diomelin, dan siap-siap mendengar ceramah dari saya paling kurang 1/2 jam seperti yang biasa beliau lakukan terhadap saya lengkap dengan ekspresi menggurui dan coretan tinta merahnya.

Perlahan saya membaca, paragraf pertama…kedua dan ketiga…Lalu saya berhenti, dengan serius saya memandangnya…agak lama. Dan dia badannya meringkuk menjadi seperti kucing kurus dan ringkih. Lalu saya tesenyum dan berkata:

“Luarbiasa…Bagus sekali tulisan ini”.

DIa sangat terkejut dan terhenyak, sampai tidak sanggup berkata-kata selama 10 menit dan bengong terus tanpa kata. Lama kemudian baru bisa senyum. Saya lanjutkan : ” Jarang ada tulisan seorang profesional seperti ini… sangat bermanfaat.”

Senyumnya mengembang, lalu menyahut sambil merendah: ” Ah kamu bisa aja, ini tulisan biasa koq, kamu melebih-lebihkan.”  terlihat wajahnya lega, seperti lepas dari tekanan yang berat.

Semenjak saat itu, rajinlah beliau menulis artikel. Apalagi kemudian muncul web dan blog sehingga penyaluran dari seikit hobi yang telat ini bisa tersalurkan.

Bila ingin melihat beberapa artikelnya, sila klik di:

http://catatankecillina.blogspot.com/

Sungguh sekarang ini setelah berlalu satu dekade “ibu guru saya di rumah” sudah menulis artikel yang jumlahnya jauh lebih banyak dari saya sendiri.

Ral- Agustus 2013.-

Satu tanggapan

Leave a Reply (boleh kasi komentar)