STARLINK Pro Kontra


Tulisan dari 2 orang ahli telekomunkasi atau internet-internetan, nampaknya perlu diperhatikan. Yang jelas kehadiran starlink di dunia ini banyak bikin heboh, karena dimasa datang tidak lagi diperlukan BTS-BTSan.. Jadi era kabel fiber-optic sudah mulai sunset. Artikel ini diambil dari postingan di medsos.

-0-

Peristiwa besar pertelekomunikasian Indonesia telah berlangsung pada hari Minggu tanggal 19 Mei 2024 kemarin sore. Adalah tentang peresmian layanan jasa Starlink di Indonesia; sebuah produk spektakuler yang dikembangkan oleh perusahaan SpaceX, milik industriawan beken dan mahatajir, CEO Elon Musk. Ia mendarat di Bali hari Minggu pagi dan dijemput oleh Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan.

Pengoperasian Starlink secara resmi dilaksanakan di sela-sela perhelatan akbar World Water Forum di Bali. Dilakukan di
Puskesmas Sumerta Kelod l, Denpasar Timur.

Elon Musk memang “bukan manusia biasa”. Ia yang dijuluki “orang jenius” adalah ikon teknologi Amerika masa kini yang setiap karyanya kerap menghebohkan dunia.
Di Indonesia, kita sebut saja Open AI yang didirikannya pada tahun 2015. Kendati telah beralih kepemilikan, orang tetap menandainya sebagai jejak Musk dalam pengembangan Artificial Intelligence.

Pada tahun 2022, Musk mengakuisisi platform aplikasi Twitter dan mengubah namanya menjadi “X”. Di bawah kendali Musk, kita mengikuti banyak kontroversi sekitar bisnis messenger ini.

Sebelumnya, pada tahun 2008 Musk mengambil alih kepemilikan pabrik mobil Tesla. Dengan Teslanya, generasi mobil bertenaga listrik menjadi topik otomotif global. Kini di pelbagai belahaan dunia, banyak pabrik mobil listrik bermunculan, tapi nampaknya brand Tesla masih memimpin di depan.

Selanjutnya, inilah aktualisasi Elon Musk yang nomor wahid, yaitu SpaceX sebuah perusahaan penerbangan luar angkasa. SpaceX didirikan bulan Mei 2002 dan berpangkalan di Hawtrone, California. Dengan generasi roket Falcon miliknya, SpaceX memproduksi beberapa varian metoda peluncuran sampai dengan proses pergantian astronot pada wahana antariksa secara mengagumkan.

Salah satu produk ajaibnya adalah ketika tahun 2020 SpaceX berhasil mengembangkan sistem satelit internet berkapasitas besar, bernama Starlink. Teknosatelitnya menggunakan platform Low Earth Orbit (LEO) atau satelit orbit rendah, yang memungkinkan kapsul satelit Starlink beredar “hanya” sekitar 500 km di atas ubun-ubun kepala kita. Bandingkan dengan satelit geostasioner yang orbitnya berada di ketinggian lebih dari 35.000 km di atas muka bumi.

Didukung ketenaran Elon Musk dan kepiawaiannya dalam merespon kebutuhan pasar, aksesibilitas internet broadband Starlink harus diakui telah menghipnotis persepsi dan minat masyarakat luas, termasuk di Indonesia.
Starlink adalah sistem konstelasi satelit yang memungkinkan sinyal transmisi pita lebar diterima di darat melalui dish antenna yang dimensinya hanya seukuran baki di dapur Anda.

Di Indonesia, jasa layanan Starlink telah dipasarkan dengan publikasi yang lumayan gebyar. Sesuai iklannya, tarif kuota internetnya paket standar (unlimited, residensial) adalah Rp750.000 per bulan; dengan catatan pelanggan harus membeli kit unit (berisi antena, router, kabel dan manual) yang dibanderol seharga Rp7,8 juta. Bayangkan, bila Starlink diinstal di Balai Desa terpencil, betapa happy-nya masyarakat di sana berselancar di dunia siber. Yang penting dana desa tersedia, he he. Untuk kelas profesional dan pelayaran tentu tarifnya lebih tinggi.

Bandwidth Starlink cukup lebar dan mampu menyalurkan sinyal dengan throughput yang besar dan berkecepatan tinggi. Sinyal yang diterima dari satelit dan terhubung ke Internet Service Provider (ISP) dikonversikan menjadi wi-fi internet siap pakai di sisi premisis pelanggan. Berdasarkan testimoni seorang pemakai Starlink perumahan di daerah remote Lembang Bandung, pakai internet Starlink, speed bisa tembus 300 Mbps, katanya. Wow (?).

Sistem Starlink akan sangat membantu mempercepat penggelaran BTS di daerah pedesaan atau bahkan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Bila skenario awal kerja sama antara Starlink dan PT Telkomsat direalisasikan, maka transmisi broadband Starlink bisa digunakan sebagai backhaul pengganti sistem VSAT untuk diteruskan ke pemancar BTS. Praktis dan hemat.

Dari sisi dimensi, perangkat Starlink juga memiliki konstruksi yang amat kompak dan ringkas. Dalam promosinya, digambarkan satu set unit sistemnya muat ditampung dalam sebuah mobil boks. Sistem ini mampu menggantikan secara tuntas sistem VSAT yang sejak kemarin sore tiba-tiba menjadi seperti produk jadul dan afkiran.

Tidak heran bila Menteri Kesehatan Budi Sadikin kepincut untuk segera memanfaatkan internet Starlink untuk mendukung program e-health dan telemedicine di ribuan Puskesmas terpencil. Congratz para dokter dan perawatnya. Gaz pol, bro Budi!

Saya pun yakin, pos-pos TNI /Polri, kelurahan, kantor pos dan guru-guru di daerah 3T juga memimpikannya. Dengan acuan Rp750 ribu/bulan, berarti Rp25 ribu/hari, setara harga nasi bungkus komplit untuk makan siang non-gratis. Semoga mimpi berinternet di garis depan dapat segera terwujud

Hanya saja, bila sistem Starlink dipasang di daerah 3T, maka diperlukan kondisi ekstra karena instalasi perangkat telekomunikasi di daerah rural/sub-rural amat rawan gangguan; terutama di daerah operasi gerombolan KKB/OPM.

Menelaah karakteristik jaringan dan perangkatnya, sistem konstelasi Starlink adalah nyata sebagai solusi jitu untuk penetrasi sinyal internet ke pelosok tanah air, secara cepat, hemat dan tanpa ribet. Ingat! Perkembangan teknologi adalah regenerasi alamiah dan keniscayaan belaka, walau acapkali menjadi predator bagi produk teknologi sebelumnya. Ikhlaskanlah.

Implementasi Starlink agaknya kelak akan menyisakan tanya, big dilemma dan doa terkait skenario BAKTI eksisting dan nasib proyek satelit Satria-1 yang berharga Rp8,3 Triliun serta “terlanjur” mengorbit sejak tahun yang lalu.

Namun, jangan lupa program kedaulatan digital juga mengingatkan agar kita tak lena menuntut transfer of technology, kandungan lokal dan national security.
Itulah idealisme mengentaskan kesenjangan digital Indonesia yang kita idamkan: aksesibilitas yang merata, tanpa diskriminasi, bermanfaat, terjangkau, memberdayakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selamat beroperasi Starlink di Indonesia!

Garuda Sugardo, IPU (Anggota Wantiknas, MKE PII, DPA Mastel).

-0-


[20/5 20.36] ItbLesmono: STARLINK

Saat ini anda mungkin sedang minum kopi, ketawa-ketiwi sambil main catur di warung pinggir jalan. Atau mungkin sedang senyum-senyum sendiri main youtube dan tiktok. Padahal para petinggi perusahaan yang menyediakan paket data di hape anda sedang panas dingin tidak bisa tidur nyenyak.

Para petinggi perusahaan jaringan celluler (seperti telkomsel, xl axiata, Indosat), atau bahkan penyedia layanan internet (seperti Biznet, Telkom, First Media dan masih banyak lagi yang lain), Mereka semua sedang stres hanya oleh dua kata ini. “Starlink” dan “Elon Musk”.

Bagaimana tidak panas dingin, Elon Musk saat ini sedang gencar-gencarnya meluncurkan satelit yang mengorbit sangat rendah. Menurut sumber yang saya baca, sudah ada 13 ribu satelit yang ia pasang di ketinggian 500 km di atas kepala kita. Dan itu masih akan terus ia tambah hingga 24 ribu buah.

Itu semua diluncurkan untuk memberikan layanan internet cepat dan murah bagi seluruh penduduk bumi di manapun berada. Tak peduli di tengah laut, di tengah hutan, atau bahkan di kutub utara.

Untuk menggambarkan harganya yang cukup terjangkau anda bisa lihat harga bulanan Indibiz yang mulai banyak digunakan orang karena unlimited dan stabil. Indibiz mematok harga sekitar 650 ribu perbulan untuk kecepatan 100 mbps, Sementara Star link yang dibangun Elon Mask ini mematok harga 750 ribu untuk kecepatan 300 mbps. Fantastis bukan.

Dan itu sekarang sudah bisa dipesan lewat website resmi Starlink dengan sangat mudah. Semudah anda membeli baju bayi di shopee atau Lazada.

Setalah perangkatnya diantar oleh JNE atau DHL, anda hanya cukup mendudukkannya di tempat terbuka, tancapkan kabelnya, colokkan ke stop kontak, dan taraaaaa…. Connected.

Ya semudah itu …


Pelan tapi pasti, orang akan bergeser ke Starlink dan meninggalkan perusahaan penyedia internet konvensional berbasis kabel fiber optic atau Tower Base Transciever Station (BTS). Anda tidak akan lagi melihat kabel-kabel rumit atau besi bersilang sengkarut menjulang di pinggir-pinggir jalan.

Kabel-kabel Fiber optic bawah laut dengan diameter sebesar drum itu terancam akan kehilangan perannya dan dicampakkan begitu saja. Itu jelas bencana luar biasa besar bagi perusahaan yang memilikinya. Sebab nilai investasi kabel-kabel tersebut tidak hanya ratusan miliar, tapi ratusan triliun.

Buat apa bersusah-susah dengan kabel dan tower BTS kalau ada yang lebih praktis sekaligus jauh lebih besar bandwidth nya.

**

Lebih parah lagi kalau nanti handphone sudah bisa menangkap langsung sinyal dari satelit. Haqqul yaqin itu kiamat Kubro bagi semua perusahaan celluler dan penyedia layanan internet konvensional.

Dan ini sangat mungkin segera terjadi, sebab puluhan ribu satelit yang Elon Mask luncurkan itu bertebaran cukup rendah dibanding satelit lain. Bila satelit pada umumnya terbang di ketinggian 30 hingga 40 ribu km, maka satelit Elon Musk hanya ada di ketinggian 500 km atau separuh jarak Surabaya-Jakarta. Jarak ini membuka memungkinkan diciptakannya teknologi penangkap sinyal satelit yang bisa disisipkan di handphone.


Dengan alasan kemanan, Rusia menolak menggunakan satelit Elon Musk ini. Kabarnya juga Tiongkok. Mereka khawatir data-data penting negara bisa bocor di tangan Elon Musk. Rusia dan Tiongkok justru mulai mengikuti jejak Bos Space X dan Tesla itu menerbangkan satelit yang bisa terbang rendah.

Indonesia mungkin tidak tertarik ikut-ikutan menerbangkan sendiri satelit serupa, sebab barangkali merasa tidak punya data rahasia yang perlu dikhawatirkan. 😀

Leave a Reply (boleh kasi komentar)