Catatan Dahlan Iskan dari Iran

Simak cerita CEO PLN bagaimana kita tidak bisa dapat gas dinegeri sendiri.

Posted by: “Fahmi Muhanna” muhanna87@yahoo.com   muhanna87

Tue May 10, 2011 9:45 am (PDT)

Assalamu alaikum wr.wb….

Berikut ini saya copy pastekan catatan perjalana pak Dahlan Iskan dari Iran.
Semoga ada manfaatnya

Wassalam…
———————————————————-

Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tak kesulitan dapat gas
dalam negeri, barangkali takkan ada pikiran untuk melihat kemungkinan
mengimpor gas dari Negara Para Mullah ini.

Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk dapat gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya
malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus. Kalau awal
2010 PLN masih dapat jatah gas 1.100
MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar
metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900
MMSCFD. Perjuangan untuk dapat tambahan gas yang semula menunjukkan
tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.

Gas memang sulit diraba sehingga tak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa
jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana
dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN perlu 1,5
juta MMSCFD gas.

Kalau saja PLN bisa dapat gas sebanyak
itu, penghematannya bisa mencapai Rp15 triliun tiap tahun. Angka
penghematan yang mestinya menggiurkan siapapun.

Maka,
saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah
berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa
selesai bulan depan. Kini waktunya perjuangan dapat gas ditingkatkan.

Termasuk,
apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi AS dan
sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan
persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.

Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang ‘salah makan’. Sekitar 5.000
MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun
diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang
membuat kembung perut PLN selama ini.

Kebetulan Iran
memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang
membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk
Parsi.

Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi?
Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi
oleh AS dan sekutu-sekutunya dari seluruh dunia?

Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa dapat teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran?

Saya
pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski
Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang
hanya dipisahkan oleh laut 600 Km dari Qatar itu.

Bandaranya
kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional.
Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana. Itulah kota
yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya.

Iran
memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan
petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini
dipenuhi rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan
instalasi pembuatan LNG.

Saya heran bagaimana Iran bisa
dapat semua teknologi itu saat Iran diisolasi dunia Barat. Memang terasa
jalannya proyek tak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi.

Kilang
minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi
dalam skala raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan
dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.

Memang,
kalau saja Iran tak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat.
Namun, Iran tak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang
dibutuhkan di situ.

Hanya bagian-bagian tertentu yang
masih didatangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana.
Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya
memang banyak akal. Asal tak mudah menyerah. Demikian juga Iran.

Bahkan,
untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran
akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian
yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah
berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open
cycle maupun combine cycle.

Kemampuan membuat pembangkit
listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada
negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh.

Karena
itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin
itu. Saya ingin lihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk
mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.

Ternyata
benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tapi
juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade
turbin sendiri.

Termasuk mampu menguasai teknologi
coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh
tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu.

Sekarang
Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25
MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon,
Syria, dan Irak.

Bulan depan sudah pula mengekspor suku
cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan
produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!

Kesimpulan saya:
inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan
pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau
semua proses produksinya.

Mulai A hingga Z. Termasuk
memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya itu, untuk
urusan listrik, Iran bisa mandiri. Bahkan, untuk pemeliharaan
pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tak bergantung lagi ke
pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari AS
bisa dirawat sendiri.

Iran sudah bisa memproduksi suku
cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah
dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain.

‘’Anak
perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN
dengan suku cadang dari sini,’’ kata manajer di situ.

Pabrik
ini memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing mengurus bidang yang
berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus
bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.

Bisnis
kelihatannya tetap bisnis. Saya tak habis pikir bagaimana Iran tetap
bisa dapat alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu
buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tak
habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa dapat lisensi
Siemens.

Rupanya, meski membenci AS dan sekutunya, Iran
tak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci AS hanya karena AS
membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran.
Saya pikir Iran membenci apapun yang datang dari AS.

Ternyata
tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga,
Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.

Intinya:
dengan diembargo AS dan sekutunya, Iran hanya kesulitan pada
tahun-tahun pertama. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan
mandiri.

Kesulitan itu tak sampai membuatnya miskin,
apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang
semula jadi ketergantungannya.

Banyaknya proyek yang
sedang dikerjakan sekarang menunjukkan, pembangunan ekonomi Iran terus
berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan
layang, hingga ke industri dasar. Tak ketinggalan pula industri mobil.

Kegiatan
ekonomi di Iran memang tak gegap gempita seperti Cina, tapi tetap
terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam
persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibanding tahun-tahun
pertama sanksi ekonomi diberlakukan.

‘’Sebelum ada
sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300 ribu mobil setahun.
Kini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,’’ ujar seorang CEO
perusahaan terkemuka di Iran.(bersambung)

Di Antara Sepuluh Wanita, Sebelas Yang Cantik

KAMI
mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang
waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang
Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas
terlihat bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus
yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.

Memang
ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya
pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya
kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang
Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk
16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.

Itu
pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara
memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum.
Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya
diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.

“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?” tanya saya.

“Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,” katanya.

Salat
Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut
aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun
yang salat Jumat tetap harus salat duhur.

Karena Jumat
adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek.
Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum.
Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan
tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan
untuk biaya pemeliharaan.

Sepanjang perjalanan ke Qum
tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyaÂ
gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah
enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran.
Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik
karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di
sini.

Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti
berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu, bangunan
masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu kompleks dengan
madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh.

Tujuan
utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa
terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran
dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi
di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih
secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang
presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang
dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden
(tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.

 Tapi,
sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis
oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun
dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat.

 Dalam
praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat
jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. “Dalam lima
tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke
pemerintah,” ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.

Saya
memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota
suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di
negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil.
Bahkan, orang Iran  menilai negara yang melarang wanita mengendarai
mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa
menyebut dirinya negara Islam.

Dan lihatlah cara wanita
Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang, semua wanita
diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak
lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu
menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka.
Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada
yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari
kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai
rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.

 Bagaimana
baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju
panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir
100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain
biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian
seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita
Iran terlihat sangat modis.

 Apalagi, seperti kata orang
Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada sebelas! Sedikit
sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu pun tidak ada
yang sampai menutup wajah.

 Sampai di kota Qum,
sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar
dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu  15.
Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi
ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga suasananya
mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi.
Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di
dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.

 Yang
juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran
berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota
yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya.
Tetapi, tidak terlihat ada  keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang,
Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan
Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh
seperti Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung
pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan
kumuh.

 Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang
terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin.
Teheran bukan kota yang sangat bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di
jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy
mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor, atau mobil
kelas 600 hingga 1.000 cc.

 Lebih dari 90 persen mobil
yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak
melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali
tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya juga
tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang berpakaian
merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap
maupun kata-kata.

Pemerataan pembangunan terasa sekali
berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang
dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian juga, 99 persen rumah di
Iran menikmati listrik “untuk tidak menyebutkan 100 persen.

Melihat
Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di
bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf! (bersambung)

Sambungan…

BAGAIMANA Iran ke depan?

Mengapa setelah lebih 20 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat Iran tidak kolaps seperti Burma, Korea Utara (Korut) atau Kuba?

Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazarinya.

Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Tiongkok, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40% GDP negara itu.

Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi. Keberhasilan itu disebabkan  masyarakat di Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung. Belum lagi kekayaan alamnya. Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi  drilling dan pengolahan.

Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran. Tahun 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Tahun 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. « Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar, » ujar CEO perusahaan gas di sana.

Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. “Seluruh gas Iran di situ harganya USD 12 triliun”, katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang USD 1 triliun saat ini.

« Kalau gas itu diambil dalam skala seperti sekarang baru akan habis dalam 200 tahun », tambahnya.
Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada misalnya gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara.

Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas dan bahan bakar minyak (BBM).

Bahkan akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar dari rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp 100.000, real Iran terbesar adalah 500.000 real (1 real hampir sama dengan Rp 1). Bahkan ada juga real lembaran 1.000.000, meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas. Seperti Indonesia, Iran juga merencanakan menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya saja penghapusan nol tersebut baru akan dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya.

Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya “reformasi ekonomi”. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar. Inti dari reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai “ekonomi pasar”. Artinya harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan.

Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil resiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini. Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak popular karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi jadi presiden.
Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannyapun “sangat ekonomi”: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial.

Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai USD 84 juta), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya. Karena itu daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.

Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba atau Libya. Dengan bendera sebagai Negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar. Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi.

Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi. Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa.

Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia. Maka tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuat, lengkap dengan kemampuannya memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki oleh enam negara.

AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba dan Libya menderita dengan embargonya. Tapi tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena “dibantu” oleh Amerika Serikat sendiri.

Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Iraq, namun selalu gagal. Perang Iran-Iraq yang sampai 8 tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan oleh AS. Dengan tumbangnya Saddam Husein maka Iraq kini dikuasai oleh para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Iraq saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri, dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan saat terjadi perang Iran-Iraq dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Iraq.

Demokrasi yang diperjuangkan AS di Iraq telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Iraq. Padahal mayoritas rakyat Iraq adalah Islam Syiah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh. Yang separo adalah keturunan Arab, sedang separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syiah. Padahal yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah. Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10% dari penduduk Iraq.

Dengan gambaran seperti itu maka masa depan hubungan Iran dan Iraq tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjadi amat mesra. Waktu yang tepat itu adalah ini: mundurnya AS 100% dari Iraq. Dan itu tidak akan lama lagi.

Pekan lalu pimpinan Iraq sudah mengatakan Iraq hanya perlu bantuan militer untuk menjaga perbatasan, bukan untuk urusan dalam negeri. Maka tidak lama lagi Iraq akan menjadi negara ketiga yang akan mengalirkan barang dari dan ke Iran. Dan kalau ini terjadi, masih ada gunanyakah Iran diisolasi?(*)

Dahlan Iskan

CEO PLN